Podo Toko;
Jejak Ritual Kematian Dalam Budaya Manggarai Flores
Catatan pojok Ani Paga.
Jarum jam menunjukkan angka 23.30 sang pemimpin acara mulai mempersiapkan diri. Podo Toko merupakan salah satu rangkaian ritual adat kematian dalam Budaya Manggarai Flores
. Kata Podo Toko sendiri dalam adat Manggarai diterjemahkan sebagai pemisahan jiwa orang meninggal dunia dengan seluruh keluarga. Podo : antar, Toko : tidur
Suasana rumahpun menjadi hening. Dua anak muda diperintahkan menyiapkan garam kasar untuk dibakar di dapur.
Dalam acara ini biasanya dilakukan pada pukul 00.00 waktu setempat. Suasana hening menyelimuti ruangan, Hadirin dilarang bersuara bahkan batuk, bersinpun dianggap tabu.
Seorang juru bicara yang bertindak sebagai pemimpin acara melantunkan beberapa kalimat yang mengarahkan arwah agar beralih pada alamnya dan tidak diperkenankan memasuki rumah.
Saat bersamaan beberapa personil di dapur menyiapkan garam dapur kasar untuk kemudian dibakar pertanda arwah telah berada di luar rumah kemudian menjauh. Kapur sirihpun dipersiapkan untuk dioles membentuk salib pada pintu keluar.
Kapur sirih dipercaya sebagai penangkal menolak peristiwa kematian terulang.
Usai ritual Podo Toko biasanya selalu diikuti suatu game Ceha Kila : menyembunyikan cincin antar dua kelompok sambil menyanyikan lagu Ceha kila. Game semacam ini biasanya terus dilakukan hingga waktu menunjukkan angka 4 pagi. Saat game Ceha Kila dilakukan hadirin tidak diperkenankan pulang ke rumah masing-masing.
Sejak hari kematian hingga acara Saung Ta'a yang diselenggarakan pada hari kelima, anggota keluarga dilarang membersihkan rumah menggunakan sapu lantai bahkan semua anggota keluarga tidak diperkenankan mandi.
Sampah dalam rumah hanya boleh dibersihkan dengan cara dipungut kemudian diletakkan pada tempat sampah yang tersedia.
Menjelang subuh dibawa komando pimpinan acara melakukan ritual 'Samo" Salah satu acara pembersihan diri seluruh anggota keluarga pada sungai.
Dalam perjalanan menuju sungai para peserta tidak diperkenankan bersuara, menginjak kaki peserta lain, tidak boleh berjumpa dengan orang lain di luar kelompok peserta bahkan suara anjing melolongpun dianggap pertanda buruk.
Demikian pula pada saat kembali ke rumah, rombongan itu tidak boleh berbicara satu sama lain termasuk suara anjing melolong bahkan bertemu orang lain masih dianggap tabu.
Beberapa perlengkapan busana almarhunpun dibuang dan dibiarkan terhanyut mengikuti derasnya arus air yang mengalir sepanjang daerah aliran sungai.
Ritual adat pemisahan arwah masih berlangsung besok harinya yang dikenal dalam acara Saung Ta'a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar